Hadits Qudsi Pembagian Hadits Menurut Sandarannya Hadits menurut sandarannya terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan mardud ( ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu : 1. Hadits Qudsi 2. Hadits Marfu’ 3. Hadits Mauquf 4. Hadits Maqthu’ HADITS QUDSI Definisi Qusi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘ alaihi wasallam dari perkataan- perkataan beliau kepada Allah ta’ala. Bentuk-Bentuk Periwayatan. Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi : Pertama , Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa jalla”. Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : ”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian” . Kedua , Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Allah berfirman…. ” . Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wasallam bersabda, ”Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya” . Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an 1. Al- Qur’an itu lafadhdan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. 2. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala. 3. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir. Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi Hadits Nabawi disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘ alaihi wasallam. Hadits Qudsi jumlahnya sedikit. Buku yang terkenal mengenai hal ini adalah [I[Al-Ittihafaat As- Sunniyyah bil-Hadiits Al-Qudsiyyah[/I] karya Abdur-Ra’uf Al- Munawi (103 H) yang berisi 272 hadits.
Hadits ~_~_-_Marfu'
Al-Marfu' mnurut bahasa merupakn isim maf'ul dari kata rafa'a ( mengangkat), dan ia sendiri berarti yang diangkat. Dinamakan marfu' karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu'alaihi wasallam. Hadits Marfu’ menurut istilah adalh sabda, atau perbuatan, atau taqrir ( penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu' = marfu' hukman), baik yg mnyandar kannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil ( bersambung) atau munqathi’ (terputus). Macam-Macamnya Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu :berupa perkataan, perbuatan, taqrir , dan sifat. Masing-masing dari yg empat mcam ini mmpunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dn jelas), dan marfu' secara hukum. Marfu' scara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi. Contoh nya:
1. Perkataan yang marfu' tashrih : seperti perkataan shahabat, Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda begini; atau Rasulullah shallallaahu'alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini; atau Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda begini; atau Dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini; atau yang semisal dengan itu.
2. Perkataan yang marfu' secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lmpau sperti awal pnciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : Kami diperintahkan seperti ini; atau kami dilarang untuk begini; atau trmsuk sunnah adalah melakukan begini.
3.) Perbuatan yang marfu' tashrih :seperti prkataan seorang shahabat: Aku tlh mliht Rsulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melakukan begini.
4.) Perbuatan yang marfu' secara hukum : seperti perbuatn shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dlmnya dimna hal itu mnunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullh shallallaahu 'alaihi wasallam). Sbagaimana disebutkan dlm riwayat Al-Bukhari, Adalah Ibnu 'Umar dn Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhum berbuka puasa dan meng qashar shalat pada perjalanan empat burud . Burud merupakan jamak dari bard , yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km).
5.) Pnetapan ( taqrir ) yang marfu' tashrih: sprti perkataan shahabat, Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam; atau Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pngingkaran Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
6.) Penetapan yang marfu' secara hukum :sperti perkataan shahabat, Adalah para shahabat begini/demikian pada jamana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.
7.) Sifat yang marfu' tshrih: sperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam itu tidak tinggi dn tidak pula pendek; atau Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut.
8.) Sifat yang marfu' scara hukum :seperti perkataan shahabat,Dihalalkan untuk kami begini; atau Telah dihramkn atas kami demikian. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum mnunjukkn bhw perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rsulullh shalllallahu 'alaihi wasallam adalah yg menghalalkan dn meng haramkan; maka pnghalaln dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya bnyak mngandung unsur tolerir yg tinggi, meskipun bentuk sprti ini dihukumi sebagai sesuatu yg marfu'
Hadits Mauquf & Hadits Maqthu'
1. Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi Thalib radliyallaahu'anhu, Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?.
2. Mauquf Fi'li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari, Ibnu 'Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum.
3. Mauquf Taqriry: sprti perkataan seorang tabi'in: Aku tlh melakukan demikian di depan sorng shahabat dan dia tidak mengingkari atasku. Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama. Hadits Maqthu' Definisi Al-Maqthu' artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu' menurut istilah adalah : perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi'In atau orang yang di bwhnya, baik brsambung sanadnya atau tidak bersambung. Perbedaan antra Hadits Maqthu' dn Munqathi' adalah bahwasannya Al- Maqthu' adlh bgian dr sifat matan, sedngkn AlMunqathi' bgian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu' itu merupakan perkataan tabi'I atau orang yang di bwahnya, dn bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi' sanadnya tidak bersambung dan tidk ada kaitannya dengan matan. Sebagian ulama hadits – seperti Imm Asy-Syafi'I dn Ath-Thabarani mnamakn Al-Maqthu’ dengan AlMunqathi' yang tidak brsambung sanadnya. Ini adlh istilah yang tidak populer. Hal trsebut terjadi sebelum adanya pnetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi'. Contohnya
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah, ”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir, ”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”. Tempat-Tempat yang Diduga Terdapat Hadits Mauquf dan Maqthu’ Kebanyakan ditemukan hadits mauquf dan maqthu’ dalam :
1 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
3. Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul-Mundzir.
by: JS
Ziyadah Ats - tsiqah
a. Abu Bkar Abdullah bin Mhammd bin Ziyad An-Naisabury.
b. Abu Nu’aim Al-Jurjani.
c. Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Quraisyi. Tempat Terdapatnya Ziyadah Ats-Tsiqah dan Kondisi-Kondisinya Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad, dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung hadits mursal. Dan tambahan itu:
a. Kadang terjadi dari satu orang, yang meriwayatkan hadits dalam keadaan kurang dalam satu riwayat, sedangkan dalam riwayat lainb terdapat penambahan.
b. Dan kadang terjadi tambahan dari orang selain yang meriwayatkannya dalam keadaan kurang. Hukumnya Ibnu Shalah telah membagi – dan diikuti oleh Imam An-Nawawi – Ziyadah Ats-Tsiqah bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, dibagi menjadi tiga bagian :
1. Tambahn yang tidak brtentngan dengan riwayat para perawi yang tsiqah. Bagian ini hukumnya sah atau maqbul (diterima).
2. Tambahan yang bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya, dimana jika diterima salah satunya maka ada yang tertolak di riwayat lain, maka bagian ini di- tarjih antara riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya. Yang kuat atau rajih diterima, sedangkan yang marjuh atau lemah ditolak.
3. Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para perawi yang tsiqah, seperti mengikat (taqyid) yang muthlaq, atau mengkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini hukumnya sah dan diterima. Contoh Tambahan Lafadh pada Matan
1. Contoh tambahan yang tidak terdapat peretntangan : Diriwayatkan Muslim dari jalan Ali bin Mushar, dari Al-A’masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari tmbhan lafadh : falyuriqhu artinya maka hendaklah ia buang isinya; dalam hadits tentang jilatan anjing. Semua ahli hadits dari para murid Al-A’masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut. Yang mereka riwayatkan adalah begini : Apabila anjing menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali . Maka tambahan kalimat hendaklah ia buang isinya adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian, sedangkan dia adalah seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan antara riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan).
2. Contoh tambahan yang trdapat perselisihan, seperti tambahan Hari Arafah yang terdapat pada hadits yang berbunyi : Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq, hari raya kita orang Islam, hari raya kita umat Islam, adalah hari raya makan dan minum . Hadits ini dilihat dari semua jalannya adalah tanpa kalimat Hari Arafah . Dan tambahan ini hanya terdapat pada riwayat Musa bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari 'Uqbah bin Amir,dan tambahan ini telah di- tarjih .
1 . Contoh tambahan lafadh yang terjadi semacam pertentangan. Diriwayatkan oleh Muslim, dari jalan Abu Malik Al-Asyja’i, dari Rib’i, dari Hudzaifah, berkata : Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda : Tlah dijadikan semua bumi untuk kami sebagai masjid dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat bersuci.
2 . Di sini terdapat Abu Malik Sa'ad bin Thariq Al- Asja'i dengan tambahan lafadh : debunya , sedangkam perawi yang lain tidak menyebutkannya. Hadits yang mereka riwayatkan adalah : Telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan tempat bersuci .
3 . Madzhab Asy-Syafi’i dan Malik menerima tambahan lafadh seperti ini, dan ini pendapat yang benar. Sedangkan pengikut madzhab Hanafi, mreka menjadikan tmbahn ini sebagai tambahan
4 . yg brtentangan dan mnerapkn aturan tarjih antara lafadh tmbahn dan hadits asli (tanpa tambahan). Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan tambahan seperti ini. Hukum Tambahan dalam Sanad Yang dimaksud tambahan dalam sanad di sini adalah menjadikan hadits mauquf menjadi marfu, atau menyambung sanad yang mursal menjadi maushul. Atau dengan kata lain, terjadinya pertentangan antara me- marfu’ -kan dengan me- mauquf -kan, dan me- maushul -kan dengan me- mursal -kan. Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi tambahan seperti ini :
a. Jumhur fuqahaa dan ahli ushul fiqh menerima tambahan ini.
1 . Jumhur ahlihadits menolak adanya tambahan ini.
2 . Sebagian ahli hadits berpenda pat agar dilakukan tarjih, yang terbanyak itulah yang diterima. Contohnya Hadits : Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan adanya wali. Hadits ini diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishaq As-Sab’i dan anaknya Isra’il, dan Qais bin Ar-Rabi, dari Abi Ishaq dengan sanad brsmbung. Dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal. AL-MUTTABI DN ASY-SYAHID, SERTA JALAN MENCAPAI KEDUANYA (AL-I’TIBAR) Contoh Rasulullah shallallaahu'alaihi wsalam bersabda : Bulan itu bilangannya 29 hari, jangan berpuasa sebelum kamu melihat hilal, danjangan kamu berbuka sebelum kamu melihatnya. Maka jika tertutup awan atas kamu, perkirakanlah baginya. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik, Bukhari, Muslim, An-Nasa'I, dan Ibnu Khuzaimah. Diriwayatkan oleh shahabat Malik dari Malik, dari Abdullahbin Dinar, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: maka jika tertutup awan atas kamu, maka perkirakanlah baginya . Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’I, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin ‘Umar dengan lafadh yang sama bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”…….maka jika tertutup awan atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari . Diriwayatkan oleh Abdullah bin Salamah Al-Qa’ nabi, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar dengan lafadh yg sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”…..maka jika tertutup awan atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hri. Dn diriwayat kan oleh 'Ashim bin Muhammad, dari bapaknya Muhammad bin Zaid, dari kakeknya Abdullah bin 'Umar dgn lafadh yang sama bhwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”………maka jika tertutup awan atas kamu, maka sempurnakanlah bilangnnya 30 hari” . Dan diriwayatkan oleh Muhammd bin Hunain, dari Ibnu 'Abbas dengan lafadh : Bhwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”…….maka jika tertutup awan atasmu, maka sempurnakanlah bilangannya 30 hari. Dan diriwayatkan Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah degan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalllam bersabda : ”……maka jika terhalang awan atas kamu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari” . Di sini ada beberapa permasalahan:
1. Sebagian kaum mengira bahwa Imam Syafi’I hanya sendiri dalam meriwayatkan hadits Ibnu ‘ Umar dngn lafadh : maka sempurnakanlh bilangan 30 hari .
2. Para ulama telah membahas dan meneliti matan dan sanad-sanad, dan mereka mendapatkan :
a. Bahwasannya Al-Qa’nabi telah menyertai Imam Asy-Syafi’I mulai dari awal sanad sampai ke Ibnu ‘ Umar dengan lafadh:.maka sempurnakanlah bilangan 30 hari .
b. Bahwasannya Muhammad bin Zaid telah menyertai Asy-Imam Syafi’I dalam meriwayatkan hadits Ibnu ‘Umar dengan lafadh : maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh
3. Dan para ulama telah membahas dan menguji matan dan sanad-sanad, dan mereka mendapatkan: a. Bahwasanya Muhammad bin Hunain telah menyertai guru dari guru Imam Asy-Syafi’I, akan tetapi hanya sampai pada Ibnu 'Abbas dengan lafadh : maka sempurnakanlah bilangan 30 hari.
b. Bahwasannya Muhammad bin Ziyad telah menyertai guru dari guru Imam Asy-Syafi’I, namun hanya sampai kepada Abu Hurairah dengan lafadh : maka jika tertutup awan atasmu, mk sempurnakanlah bilangan bulan Sy’ban 30 hari Dengan demikian menjadi jelas bhw apa yang diriwayatkan Imam Asy-Syafi’I bukanlah gharib karena terdapat persamaan dan pnyertaan dalam lafadh atau makna dari riwayat Ibnu ‘Umar itu sendiri atau dari shahabat yang lain. Maka riwayat yang menyertai hadits, baik dalam hal lafadh ataupun makna, dan shahabat yang meriwayatkan nya adalah satu , maka riwayat itu dinamakan muttabi’ . Sedangkan hadits yang menyertai hadits, baik lafadh maupun maknanya, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah berbeda , maka dinamakan syahid . Dan kesamaan shahabat dalam periwayatan hadits, mnurut Imam Asy-Syafi'I:
a. Jika terjadi pada awal sanad, maka dinamakan mutaba'ah yang sempurna.
b. Jika tidak dimulai pada awal sanad, mka dinamakan mutaba'ah yang kurang sempurna. Atas dasar ini, maka : Al-Muttabi’ , disebut juga At-Taabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari taba'a yang artinya yang mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah satu. Asy-Syahid , menurut bahasa adalah isim fa’il yang artinya adalah yng menyaksikan. Sdangkn menurut istilah adalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan biasanya shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan. Al-Mutaba'ah , menurut bahasa adalah pengiringan. Sedangkan menurut istilah adalah penyertaan seorang perawi kepada perawi yang lain dalm periwayatan hadits. Dan Al-Mutaba’ah ada dua macam:
1. Al-Mutaba’ahTaammah (yang sempurna) : apbila seorang perawi menyertai mulai dari awal sanad.
2. Mutaba’ah qashirah (yg kurng smpurna) : apabila seorang perawi mnyrtai di tengh sanad. Al-I’tibar , menurut bahasa yaitu memperha tikan perkara-perkara tertentu untuk mengetahui jenis lain yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan-jalan hadits yang diriwyatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam meriwayatkn hadits itu atau tidak, yaitu kondisi menuju kepada muttabi' dan syahid
Hadits shahih
Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu
Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
2. Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen)
3. Shahîh Li Ghairihi (Shahih krna yang lainnya/riwayat pndukung)
4. Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/ riwayat pendukung)
Dalam kajian kali ini, kita akan mem bahas seputar bagian pertama di ats, yaitu Shahîh Li Dzâtihi ( Shahih secara independen) Definisi Shahîh Secara bahasa (etimologi), kata (sehat) adalah antonim dari kata (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘ adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘ illat (penyakit) Penjelasan Definisi - Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di atasnya ( sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya. - Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya. - Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab) - Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz ( hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya) - Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘ illatnya). Makna 'Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya. Syarat-Syaratnya Melalui definisi di atas dapat diketahui bahwa syarat-syarat keshahihan yang wajib terpenuhi sehingga ia menjadi hadits yang Shahîh ada lima: Pertama, Sanadnya bersambung Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz Bilamana salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suatu hadits tidak dinamakan dengan hadits Shahîh. Contohnya Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk itu. Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al- Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik membe ritakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’ im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib) Hadits ini dinilai Shahîh karena:
1. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair trmsuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
2. Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl :
a. 'Abdullh bin Yusuf: Tsiqah Mutqin
b. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh
c. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh dispakti keagungan dan ktekunan mereka berdua
d. Muhammad bin Jubair : Tsiqah
e. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
3. Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
4. Tidak terdapatnya ‘Illat apapun. Hukumnya Wajib mengamalkannya menurut kesepakatan ( ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’ at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya. Makna Ungkapan Ulama Hadits Hadits ini Shahîh Hadits ini tidak Shahîh
1. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, ttapi dalam waktu yang sama, tidk brrti pemastian keshahihan nya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa.
2. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang bnyak kekeliruan bertindak benar. Apakh Ada Sanad Yang Dipastikan Merupakan Sanad Yang Paling Shahih Secara Mutlak? Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat. Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah:
1. Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘ Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
2. Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
3. Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
4. Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
5. Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn 'Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al- Bukhariy. Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan Hanya Memuat Hadits Shahih Saja Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Kduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya. Mana Yang Paling Shahih Diantara Keduanya? Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahîh Muslim. Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits- hadits al-Bukhariy. Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, nmun pendapat yg benar adlh pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih. Apakah Keduanya Mencantumkan Semua Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu? Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuana mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.” Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat? Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al- Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak. Dia juga mengatakan, Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih. Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di Dalam Kitab ash-Shahîhain?
1. Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yag diulng, sedangkan jumlahnya tnpa diulang sebanyak 4000 hadits.
2. Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga. Dimana Kita Mendapatkan Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahîhain? Kita bisa mendapatkan nya di dalam kitab-kitab trpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al- Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad- Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain. Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, sprti Shahîh Ibn Khuzaimh. Seputar Kitab al-Mustadrak karya al- Hâkim, Shahîh Ibn Khuzaimah dan Shahîh Ibn Hibbân
1. al-Mustadrak karya al-Hâkim Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits- hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut. Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits. Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan ( follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits- haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya trsebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukn pemantauan dan prhatian penuh. (Salah seorang yng juga mengadakan pmantauan dan studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan penilaian apapun oleh Imm adz-Dzhabi dan memberi kan penilaian yang sesuai dengan kondisinya adlh Syaikh. Dr. Mhmud Mirah -barangkali sekarang ini sudah rampung-)
2. Shahîh Ibn Hibbân Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih ( ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun per- musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ'( Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangt sulit skali. Sekalipun begitu, ada sbgian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir 'Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan 'Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al- Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab. Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1 /109)
3. Shahîh Ibn Khuzaimah Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân krena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat brhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan pnilaian) terhadap suatu kshhihan hdits karena kurangnya pmbicraan seputar sanadnya. Apa Saja Hadits Yang Sudah Dipastikan Shahîh Dari Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Imam al-Bukhari Dan Muslim? Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab Shahih mereka selain hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima kedua kitab tersebut secara penuh. Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu? Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan keduanya dengan sanad yang bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih. Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan sanad (jalur trasmisi hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai dengan hadits al-Mu’allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al- Bukhari agak banyak namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali. Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu kecuali satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat beliau sambung sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap hadits-hadits yang kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian terhadapnya dan menyikapinya adalah sebagai berikut: 1. Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al- Jazm (bentuk ucapan pasti), seperti dengan ungkapan (Qâla/berkata); (Amara/ memerintahkan) dan (Dzakara/menyebutkan); maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada sumbernya (orang yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat itu dinyatakan, misalnya (si fulan berkata), maka berarti perkataan itu adalah shahih bersumber dari si fulan yang mengatakannya itu] 2. Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm seperti dengan ungkapan (yurwa/ diriwayatkan [masa sekarang]); (yudzkar/ disebutkan [masa sekarang]); (yuhka/dihikayatkan [masa sekarang]); (ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan (dzukira/disebutkan [masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat dinisbatkan keshahihannya dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan kepadanya), namun sekalipun demikian, tidak ada satupun di dalamnya hadits yang lemah karena ia sudah dimuat di dalam kitab yang bernama ash-Shahîh. Tingkatan Keshahihan Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan- persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan: A. Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar. B. Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas. C. Yang dibawah itu lagi tingktannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat- periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan: 1. Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi) 2. Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari 3. Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim 4. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya 5. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya 6. Hadits yang diriwayatkan brdasrkn persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkan nya 7. Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim). Pengertian Persyaratan asy-Syaikhân Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas ( implisit) prihal prsyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan ( follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya. Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka. Mkna Kata Muttafaqun Alaih Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24) Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan Hadits Azîz ? Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?. Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih ( ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits ‘Aziz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja). Ada sementara kalangan ulama seperti ‘Ali al- Jubaiy, tokoh mu’tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
Perbedaan Hadits. khabar, Dan Atsar
Bentuk jamak dari hadits adlah ahaadits . Adapun firman Allah Subhanahu Ta’ala: Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (QS. Al-Kahfi : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an. Juga firman Allah Subhanahu Ta’ala: ”Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah” (QS. Adl-Dluhaa : 11). Maksudnya : sampaikanlah risalahmu, wahai Muhammad ( Lisaanul-‘Arab Ibnul-Mandhur). Hadits menurut istilah ahli hadits adalah : “Apa- apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul-fiqh, hadits adalah : “Perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah setelah kenabian”. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. ( Ushulul-Hadits , Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, halaman 27). Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Buku- buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain Tafsir, Sirah, Maghazi ( peperangan Nabi), dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita-berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidk disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syari’at. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam setelah kenabian”. ( Fatawaa Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah , 18 /10-11). Contoh perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah sabda beliau : ”Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orangtergantung pada niatnya” (HR.Bukhari dan Muslim). Sabda beliau juga : ”(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya” ( HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Contoh penetapan (taqrir) Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adaah sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata : “Ada dua orang musafir, ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayamum dengan debu bersih lalu mendirikan shalat. Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudlu dan shalat, sedangkan yang lain tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap Rasulullah dan menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau bersabda : ”Engkau sudahbenar sesuai sunnah, dan sudah cukup dengannya shalatmu” Dan kepada yang mengulangi wudlu dan shalatnya, beliau Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda : ”Bagimu pahala dua kali lipat” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i). Dari Mu’adz bin Jabal bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman : “ Apa yang kamu jadikan sebagai pedoman dalam menghukumi sesuatu masalah?” . Ia menjawab : “Dengan Kitabullah”. Rasulullah bertanya : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?” . Dia menjawab : “Dengan Sunnah Rasullullah “[/I]. Beliau bertanya lagi : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Sunnag Rasulullah dan Kitabullah ?” Dia menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pikiranku”. Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda : ”Maha Suci Allah yang telah memebri petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridlai Rasulullah” (HR. Abu Dawud, dan didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Manzilatus-Sunnah ). Diriwayatkan bahwasannya Khalid bin Walid pernah memakan dlabb (hewan sebangsa biawak di padang pasir) yang dihidangkan kepada Nabi, sedangkanbeliau tidak memakannya. Sebagian shahabat bertanya,”Apakah diharamkan memakannya wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, ”Tidak, hanya karena binatang tersebut tidak ada di daerah kaumku sehingga aku tidak merasa berminat” (HR. Bukhari dan Muslim). Contoh dari sifat dan Sirah Nabi, adalah banyak sekali . Dan At-Tirmidzi telah menyusun sebuah buku tentang tabi’at ( syamail ) beliau. ( At-Tasyri’ wal-Fiqhi fil-Islam tarikhan wa Manhajan , Manna’ Al-Qahthan, halaman 87-88). Di antara contohnya adalah : Dari Abi Ishaq, dia berkata,”Seorang laki-laki bertanya kepada Barra’ : ‘Apakah wajah Rasulullah seperti pedang?”. Dia menjawab : “Tidak, tapi seperti rembulan” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata,” hasan shahih”). Dari Barra’ dalam riwayat lain, ”Rasulullah tidak pendek dan tidak tinggi” ( HR. Tirmidzi, dan dia berkata,”hasan shahih”.). Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata, ” Belum pernah aku melihat Rasulullah sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku” . Definis Khabar Khabar menurut bahasa adalah berita. Bentuk jamaknya adalah Akhbaar . Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat : 1. Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits, sehingga maknanya menjadi sama secara istilah. 2. Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang datang dari Nabi; sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi, seperti shahabat dan tabi’in. 3. Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum daripada hadits. Kalau hadits adalah segala apa yang datang dari Nabi, sedang khabar adalah yang datang dari Nabi dan selain Nabi. Definsi Atsar Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada dua pendapat : 1. Ada yang mengatakan bahwa atsar itu sama dengan hadits, makna keduanya adalah sama. 2. Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits, yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan dan perbuatan mereka
MAQLUB
Nudhatun-Nadhar halamn 47 ; Taisir Musthalah Hadits hlaman 107 ; Ulumul-Hadits hlaman 91 ; Al-Ba’itsul-Hatsits hlaman 78 ; dn Tadriibur-Rawi halaman 191 Mnurut bhasa, kata maqlub adalah isim maf’ul dari kata qalb yang berarti membalikkan sesuatu dari bentuk yg semestinya. Menurut istilah, hadits maqlub adalah “mengganti salah satu kata dari kata-kata yang terdapat pada sanad atau matan sebuah hadits, dengan cara mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan, mengakhirkan kata yang seharusnya didahulukan, atau dengan cara yang semisalnya. Bagian-Bagiannya Hadits maqlub terbagi menjadi dua bagian : maqlub sanad dan maqlub matan . 1. Maqlub Sanad Maqlub sanad adalah hadits maqlub yang penggantiannya terjadi pada sanadnya. Maqlub sanad ini mempunyai dua bentuk : Bentuk pertama : seorang perawi mendahulukan dan mengakhirkan satu nama dari nama-nama para perawi dan nama ayahnya. Misalnya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ ab bin Murrah, namun seorang perawi meriwayatkan hadits tersebut dengan mengatakan : “Murrah bin Ka’ab”. Tentang permasalahan ini Al-Khathib Al-baghdadi menulis sebuah buku yang beliau namai dengan Raf’ul-Irtiyab fil-Maqlub minal-Asmaa’ wal-Ansaab . Bentuk Kedua : Seorang perawi mengganti salah satu nama dari nama-nama perawi sebuah hadits dengan nama lain, dengan tujuan supaya nama perawi tersebut tidak dikenal. Seperti hadits yang sudah terkenal diriwayatkan dari Salim, namun seorang perawi mengganti namanya dengan nama Nafi’. Contoh:“ Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin ‘Amr An-Nashibi (seorang pendusta), dari Al- A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ : ”Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di suatu jalan, maka janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada mereka” . Hadits ini adalah hadits yang maqlub, karena Hammad membaliknya, dimana dia menjadikan hadits ini diriwayatkan dari Al-A’masy. Padahal sudah diketahui bersama bahwa hadits ini diriwayatkan dari Suhail bin Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Seperti inilah Imam Muslimmeriwayatkannya dalam kitabnya. Beliau meriwayatkannya dari Syu’bah, Ats-Tsauri, Jarir bin Abdul-Hamid, dan Abdul-‘Aziz Ad-Daruwardi; kesemuanya dari Suhail. Pelaku perbuatan ini jika melakukannya dengan sengaja, maka ia dijuluki “pencuri hadits”. Perbuatan ini terkadang dilakukan oleh perawi yang terpercaya karena keliru, bukan karena kesengajaan sebagaimana yang dilakukan oleh perawi pendusta. 2. Maqlub Matan Maqlub matan adalah hadits maqlub yang penggantiannya terjadi pada matannya. Maqlub matan ini mempunyai dua bentuk : Bentuk pertama : Seorang perawi mendahulukan sebagianmatan yang seharusnya diakhirkan dari sebuah hadits dan mengakhirkan sebagian matan yang seharusnya didahulukan. Contoh : Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Yaitu hadits tentang tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya, dimana hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya. Di dalamnya disebutkan salah satu dari ketujuh golongan tersebut : ”dan seorang laki-laki yang bersedekah kemudian ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kirinya” . Ini adalah salah satu riwayat yang terbalik yang dilakukan oleh seorang perawi. Sedangkan riwayat yang benar adalah : ”Sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya” . Seperti inilah hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwaththa’-nya, Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya, dan para ahli hadits lain. Itulah contoh dari bagian pertama, dimana ada keterbalikan dalam matannya karena sudah menjadi suatu yang maklum bahwa bersedekah itu dilakukan dengan tangan kanan. Bentuk kedua : Seorang perawi menyambung sebuah matan hadits dengan sanad hadits lain dan menyambungkan sebuah sanad hadits dengan matan hadits lain. Penggantian ini dilakukan dalam rangka menguji sebagian ulama hadits, supaya bisa diketahui sampai dimana tingkat kekuatan hafalannya sebagaimana yang dilakukan oleh ulama’ Baghdad terhadap Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari ketika datang menemui mereka. Al-Khathib Al-Baghdadi meriwayatkan bahwa para ulama Baghdad berkumpul dan bersepakat untuk membolak-bailkkan matan dan sanad seratus hadits, dimana mereka menyambungkan matan dengan sanad lain dan menyambungkan sanad dengan matan lain. Kemudian mereka memberikan hadits-hadits yang mereka balik matan dan sanadnya kepada Imam Bukhari dan menanyakan kepadanya. Maka satu per satu beliau mampu mengembalikan matan ke sanadnya dan mengembalikan sanad ke matannya tanpa melakukan kesalahan sedikitpun. Hukum Melakukan Pembalikan Matan atau Sanad Hadits maqlub termasuk salah satu dari jenis-jenis hadits yang dla’if. Akan tetapi hukumnya berubah-ubah menurut sebab terjadinya pembalikan ( qalb ). 1. Jika pembalikan pada matan dan sanad hadits dilakukan bertujuan agar sanad atau matannya tidak diketahui, maka perbuatan ini tidak diperbolehkan karena perbuatan tersebut sama dengan merubah hadits. Sedangkan merubah hadits adalah perbuatan para perawi pendusta. 2. Jika dilakukan untuk menguji yang betujuan untuk mengecek tingkat kekuatan hafalan dan kelayakan seorang menjadi ahli hadits, maka hal ini diperbolehkan. Kebolehan melakukan pembalikan ini harus memenuhi syarat. Yaitu seorang perawi yang melakukan pembalikan harus menjelaskan matan dan sanad tersebut sebelum ia meninggalkan tempat.
Mudltharib
Secara bahasa, kata mudltharib adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il (pelaku) dari kata Al- Idlthirab yang berarti urusan yang diperselisihkan dan rusak aturannya. Secara istilah, hadits Mudltharib adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur yang berbeda-beda serta sama dalam tingkat kekuatannya, dimana satu jalur dengan yang lainnya tidak memungkinkan untuk disatukan atau digabungkan, dan tidak memungkinkan pula untuk dipiliha salah satu yang terkuat. Akan tetapi jika antara jalur satu dengan yang lainnya dapat disatukan atau digabungkan, maka hilanglah ketidakjelasan ( Al-Idlthirab ) itu, dan dibolehkan untuk mengamalkan semua riwayat. Jika dapat dipilih salah satu yang terkuat, maka yang dibolehkan untuk diamalkan adalah riwayat yang terkuat tersebut saja. Bagian-Bagian Hadits Mudltharib Ketidaktetapan ( Al-Idlthirab kadang-kadang terjadi pada matannya. Namun terjadinya ketidaktetapan ( Al-Idlthirab ) pada sanad lebih banyak daripada yang terjadi pada matannya. 1. Mudltharib Sanad Contohnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, ia berkata,”Wahai Rasulullah, aku melihat rambutmu beruban”. Maka beliau bersabda : ”Yang telah membuat rambutku beruban adalah Hud dan saudara-saudaranya” (HR. At-Tirmidzi). Imam Ad-Daruquthni berkata,”Hadits ini adalah hadits mudltharib , karena hadits ini tidak diriwayatkan kecuali satu dari jalan, yaitu dari Abu Ishaq. Periwayatan dari Abu Ishaq diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits : Diantara mereka ada yang meriwayatkan secara mursal (dari tabi’in langsung kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagian yang lain ada yang meriwayatkannya secara maushul (sambung sampai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagian yang lain ada yang menjadikannya termasuk ke dalam Musnad Abu Bakar (Kumpulan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar). Sebagian yang lain ada yang menjadikannya termasuk ke dalam Musnad Sa’ad. Sebagian yang lain ada yang menjadikannya masuk ke dalam Musnad ‘Aisyah. Dan lain sebagainya. Semua perawi hadits tersebut semuanya terpercaya. Oleh karena itu, maka kesemua jalur sanad yang dimiliki oleh hadits tersebut tidak memungkinkan untuk dipilih salah satu yang terkuat dan tidak pula untuk disatukan atau digabungkan. 2. Mudltharib Matan Contohnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Syuraik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’bi, dari Fathimah binti Qais, ia berkata,”Rasulullah shallallaahu ‘ alaihi wasallam ditanya tentang zakat. Maka beliau bersabda : ”Sesungguhnya dalam harta ada kewajiban yang lain selain kewajiban zakat” . Sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari jalur sanad yang sama dengan menggunakan ungkapan : ”Tidak ada kewajiban dalam harta selain kewajiban zakat” Imam Al-‘Iraqi berkata,”Ketidaktetapan ( Al- Idlthirab ) yang ada pada hadits di atas tidak memungkinkan untuk ditakwilkan”. Hukumnya Al-Idlthirab menyebabkan hadits menjadi lemah. Hal inikarena dalam hadits mudltharib terdapat isyarat yang menunjukkan ketidaktelitian, baik pada sanad maupun matan. Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani telah mengarang buku tentang hal ini dan beliau namakan Al-Muqtarib fii Bayaanil-Mudltharib . Buku tersebut beliau nukil dari kitab Al-‘Ilal karya Imam Ad-Daruquthni. Kemudian beliau berikan tambahan dan sempurnakan.
Almaziid Fii Mutashil Al-Asanid
Al-Mazid adalah isim maf’ul dari kata ziyaadah yang berarti tambahan. Al-Muttashil adalah lawan kata dari Al-Munqathi’ yang berarti bersambung. Sedangkan Al-Asaanid adalah bentuk jamak dari kata Isnad yang berarti mata rantai para perawi sebuah hadits. Berdasarkan pada uraian di atas, maka Al-Maziid fii Muttashil Al-Asanid artinya : “Perawi yang ditambahkan dalam sebuah sanad hadits, dimana sanad tersebut jika dilihat maka tampak secara lahiriyyah seakan-akan tersambung. Contoh Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul- Mubarak, ia berkata,”Sufyan telah menceritakan kepadaku dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata : Bisr bin ‘Ubaidillah menceritakan kepadaku, ia berkata : Aku mendengar Abu Idris berkata : Aku mendengar Watsilah berkata : Aku mendengar Abu Martsad berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ”Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah kalian shalat menghadapnya” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi, keduanya dengan tambahan dan membuang “Abu Idris” ) Dalam hadits di atas ada dua perawi yang ditambahkan, yaitu Sufyan dan Abu Idris. Diperkirakan Sufyan tersebut ditambahkan ke dalam sanad di atas oleh perawi sebelum Ibnul- Mubarak. Karena para perawi yang terpercaya meriwayatkan hadits ini dari Ibnul-Mubarak dari Abu Yazid. Bahkan sebagian dari mereka ada yang menyatakan dengan tegas bahwa Ibnul-Mubarak mendengar langsung dari Abu Yazid. Sedangkan Abu Idris diperkirakan ditambahkan oleh Ibnul-Mubarak. Karena para perawi yang terpercaya meriwayatkan hadits ini dari Abdurrahman bin Yazid dan tidak ada satupun dari mereka yang menyebutkan Abu Idris. Bahkan sebagian dari mereka ada yang mengatakan dengan tegas bahwa Bisr mendengar langsung dari Watsilah. Para ulama hadits yang terpercaya menghukumi bahwa Ibnul-Mubarak melakukan kesalahan pada kasus ini. Tambahan di atas dapat ditolak dan dijadikan alasan untuk melemahkan perawi yang menambahkannya dengan syarat : 1. Perawi yang tidak menambahkan lebih kuat hafalannya daripada perawi yang menambahkan. 2. Terdapat dalam penambahan tersebut penjelasan yang tegas bahwa perawi satu dengan lainnya betul-betul mendengar. Oleh karena itu, jika dua syarat di atas tidak dipenuhi atau salah satu dari keduanya (tidak dipenuhi); maka penambahan tersebut dimenangkan atau diterima. Sedangkan sanad yang tidak ada tambahannya dianggap terputus ( Munqathi’ ), akan tetapi keterputusan sanad tersebut masih dianggap ringan. Inilah yang dimaksud mursal khafiy . Dalam hal ini Imam Al-Khathib Al-Baghdadi telah mengarang sebuah buku yang beliau namakan dengan Tamyiz Al-Maziid fii Muttashil Al-Asaanid
Ilmu Rija alul Hadits
Ilmu Gharibil Hadits
Gharibul-Hadits yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan satu hadits yang dalam matannya terdapat lafadh yang pelik dan susah dipahami, karena jarang dipakai. Sehingga keberadaan ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut. Sejak dimulainya pembukuan (secara sistematis) hadits pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga, para ulama sudah menyusun buku-buku tentang gharibul-hadits . Orang yang pertama kali menyusun dalam masalah gharibul-hadits adalah Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin Al-Mutsanna At-Taimi (wafat tahun 210 H). Buku-Buku yang Terkenal dalam Masalah Ini 1. Kitab Gharibul-Hadits , karya Abul-Hasan An- Nadlr bin Syumail Al-Mazini (wafat 203 H), salah satu guru Ishaq bin Rahawaih, guru Imam Bukhari. 2. Kitab Gharibul-Atsar , karya Muhammad bin Al- Mustanir (wafat 206 H). 3. Kitab Gharibul-Hadits , karya Abu ‘Ubaid Al- Qasim bin Salam (wafat 224 H). 4. Kitab Al-Musytabah minal-Hadits wal-Qur’an , karya Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri (wafat 276 H). 5. Kitab Gharibul-Hadits , karya Qasim bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat 302 H). 6. Kitab Gharibul-Hadits , karya Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari (wafat 328 H). 7. Kitab Gharibul-Qur’an wal-Hadits , karya Abu ‘ Ubaid Al-Harawi Ahmad bin Muhammad (wafat 401 H). 8. Kitab Smathuts-Tsurayya fii Ma’ani Ghariibil- Hadits , karya Abul-Qasim Isma’il bin Hasan bin At- Tazi Al-Baihaqi (wafat 402 H). 9. Kitab Majma’ Gharaaib fii Gharibil-Hadits , karya Abul-Hasan Abdul-Ghafir bin Isma’il bin Abdul- Ghafir Al-Farisi (wafat 529 H). 10. Kitab Al-Fa’iq fii Gharibil-Hadits , karya Abul- Qasim Jarullah Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad Az-Zamakhsyari (wafat 538 H). 11. Kitab Al-Mughits fii Gharibil-Qur’an wal- Hadits , karya Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar Al-Madini Al-Asfahani (wafat 581 H). 12. Kitab An-Nihayah fii Gharibil-Hadits wal-Atsar , karya Imam Majdudin Abu Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul-Atsir (wafat 606 H). ILMU GHARIBIL-HADITS (2 ) Upaya baik para ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharibul-hadits ini berakhir pada Ibnul-Atsir. Dalam menyusun buku, dia berpedoman pada kitab Gharibul-Qur’an wal- Hadits karya Al-Harawi dan kitab Al-Mughits fii Ghariibil-Qur’an wal-Hadits karya Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar Al-Madini. Dan belum diketahui ada orang yang melakukan upaya penyusunan gharibul-hadits setelah ibnul- Atsir kecuali Ibnu Hajib (wafat 646 H). Setelah itu, upaya para ulama hanya sebatas pada memberi lampiran dan ikhtishar , atau meringkas terhadap kitan An-Nihayah . Di antara ulama yang memberi lampiran pada kitab tersebut adalah Shafiyyuddin Mahmud bin Abi Bakar Al-Armawi (wafat 723 H). Dan diantara yang melakukan ikhtishar adalah : Syaikh Ali bin Husamuddin Al-Hindi, yang dikenal dengan nama Al-Muttaqi (wafat 975 H), ‘Isa bin Muhammad Ash-Shafawi (wafat 953 H) kira-kira mendekati setengah ukuran kitab, dan Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) yang mukhtasharnya dinamakan Ad- Durrun-Natsir Talkhis Nihayah Ibnul-Atsir . Pada mulanya kitab Ad-Durrun-Natsir dicetak sebagai hamisy atau catatan pinggir pada kitab An-Nihayah . Namun kemudian As-Suyuthi mempunyai inisiatif untuk memisahkan tambahan terhadap kitab tersebut, dan diberi nama At- Tadzyil a’laa Nihayah Al-Gharib . Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh Imaduddin Abul-Fida’ Isma’il bin Muhammad Al-Ba’labaki Al-Hanbali (wafat 785 H) dengan nama Al-Kifayah fii Nudhum An-Nihayah . Ibnul-Atsir telah mengatur kitabnya An-Nihayah berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, dan dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir Ahmad Az-Zawi danMahmud Muhammad Ath-Thanahi sebanyak lima jilid, dan diterbitkan oleh Pustaka Daar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, ‘ Isa Al-Babi Al-Halabi dan rekannya di Mesir. Ibnul-Atsir menyusun kitabnya An-Nihayah berpedoman pada kitab Al-Harawi dan Abu Musa Al-Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus ( ha’ ) jika mengambil dari kitab Al-Harawi, dan tanda atau rumus huruf ( sin ) jika mengambil dari kitab Abu Musa. Adapun selain dari kedua kitab tersebut dibiarkan tanpa tanda apapun, untuk membedakan mana yang dari kedua kitab trsebut dan mana yang dari kitab yang lain