Nudhatun-Nadhar halaman 53 Ulumul-
Hadits halaman 103 ; Al-Ba’ tsul-Hatsits
halaman 100 ; Tadribur- Rawi halaman 216
; dan Taisir Musthalahul-Hadits halaman
123
Secara bahasa, kata Bid’ah berarti : “
segala sesuatu yang diada- adakan tanpa
ada contohnya di masa terdahulu”.
Sedangkan secara istilah, Bid’ah adalah :
“sesuatu dari urusan agama yang diada-
adakan setelah wafatnya Rasulullah
shallallaahu ‘ alaihi wasallam tanpa ada
dasarnya”. Jenis-Jenisnya Bid’ah dibagi
menjadi dua, yaitu Bid’ah Mukaffirah dan
Bid’ah Mufassiqah .
1.) Bid’ah Mukaffirah Bid’ ah mukaffirah
adalah bid’ah yang dapat menjadikan
pelakunya menjadi kafir. Kaidah bagi
pelaku Bid’ ah Mukaffirah ini adalah : “
setiap orang yang mengingkari suatu
urusan yang mutawatir dan wajib
diketahui dari urusan-urusan agama atau
orang yang meyakini kebalikannya”.
Orang seperti ini tidak diterima
riwayatnya.
2.) Bid’ah Mufassiqah Bid’ah mufassiqah
adalah bid’ah yang hanya menjadikan
pelakunya sebagai orang yang fasiq. Bid’
ah ini jika dilakukan tidak menyebabkan
pelakunya menjadi kafir. Orang seperti ini
riwayatnya tetap diterima dengan dua
syarat : - Dia tidak mengajak orang untuk
melakukan bid’ahnya. - Dia tidak
meriwayatkan sesuatu yang dapat ia
gunakan untuk melariskan bid’ ahnya.
Su’ul-Hifdh ( Buruk Hafalan) Definisi
Sayyi’ul-Hifdh ( = orang yang memiliki
sifat su’ul-hifdh ) yaitu “perawi yang
tidak dapat dikuatkan sisi kebenaran
hafalannya dikarenakan keburukan
hafalannya”. Su’ul-Hifdhi ada dua macam
:
1 . Su’ul- Hifdh yang muncul sejak lahir
dan masih tetap ada padanya, sehingga
menjadikan riwayatnya ditolak. Menurut
pendapat sebagian ahli hadits, khabar
yang dibawanya dinamakan “syadz”.
2) . Sesuatu yang menimpa perawi kadang
terjadi seiring berjalannya waktu, baik
karena lanjut usianya, atau karena hilang
penglihatannya (buta), atau karena kitab-
kitabnya terbakar. Yang demikian ini
dinamakan Al-Mukhtalith ( yang rusak
akalnya, pikirannya, atau hafalannya).
Hukum periwayatannya adalah:
a. Jika terjadi sebelum rusak
hafalannya dan masih dapat dibedakan,
maka riwayatnya diterima.
b. Jika terjadi setelah rusak
hafalannya, maka ditolak riwayatnya.
c. Adapun jika tidak bisa ditentukan
apakah terjadi sebelum rusak atau
sesudahnya, maka hukum riwayat seperti
ini adalah Tawaqquf , yaitu tidak diterima
ataupun tidak ditolak sampai ada
ketentuan yang bisa membedakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar